Senin, 25 November 2013

Waduh, pertanyaannya koq banyak banget?

Di usia pra sekolah, anak memasuki fase bertanya (questioning age). Tak heran bila dari mulut mungilnya akan terlontar banyak pertanyaan.

Bukan cuma banyak, pertanyaannya biasanya sulit, kritis dan tak pernah ada habisnya. Ini adalah tahapan perkembangan yang akan dilalui semua anak pra sekolah. Artinya, setiap orang tua harus siap meladeni rentetan pertanyaan anak.

Keinginan untuk terus bertanya ini seiring dengan perkembangan kognitif anak. Di usia ini, kemempuan anak untuk memahami sesuatu semakin baik karena perkembangan otaknya sudah semakin kompleks. Ini pula yang merangsang perkembangan pusat bicara anak.

Anak pada usia ini akan menanyakan segala sesuatu yang berada di hadapannya, baik itu hal-hal yang baru atau hal yang sudah dikenalnya. Dia juga tak mau tahu, apakah orang tua yang ditanya tahu/mengerti atau tidak, sedang malas menjawab, capek dan sebaginya. Hal ini karena perkembangan sosial emosi anak berada dalam tahap egosentris. Akibatnya, anak tidak mau tahu dengan kondisi orang lain.

Anak juga belum mampu memahami etika bertanya, kapan harus bertanya dan kapan harus menahan diri.

Dalam kaitannya dengan hal ini, berikut ada beberapa panduan bagi orang tua dalam meladeni pertanyaan si kecil:

Hindari memberikan jawaban asal-asalan/mengada-ada hanya agar anak cepat selesai dan berhenti bertanya

Jawaban yang mengada-ada akan membuat anak semakin penasaran, sehingga ia akan terus memburu dengan pertanyaan lanjutan. Akibatnya, orang tua  boleh jadi akan kelimpungan atau bahkan harus menyiapkan jawaban mengada-ada lainnya.

Bahkan, ada kemungkinan anak berhenti bertanya pada hari itu, tapi esok harinya ketika materi tersebut kembali diingatnya, anak dapat melontarkan pertanyaan yang sama. Kebohongan demi kebohongan pun terpaksa dilakukan orangtua. Secara tidak langsung kita mengajarkan anak berbohong.

Lebih repot lagi jika jawaban yang salah ini menjadi acuan anak.

Berikan jawaban faktual

Idealnya, jawaban yang diberikan atas pertanyaan anak adalah yang faktual alias berdasarkan fakta yang ada.

Bersikap jujur

Bila orangtua benar-benar tidak tahu jawaban yang bersifat faktual, sebaiknya jujur dengan mengatakan, saat ini orangtua tidak mengetahui jawabannya.

Menunda jawaban

Boleh juga orang tua menunda jawaban. Setelah orangtua mendapatkan informasi yang tepat dan akurat, barulah jawaban diberikan.

Perilaku menunda jawaban juga dapat dilaksanakan ketika orang tua merasa keget dan tidak siap memberikan jawabannya. Ini kerap terjadi pada pertanyaan yang berbau "sex education".

Bersama-sama mencri jawabannya

Selain menunda jawaban, untuk menyiasati jawaban pertanyaan anak yang sulit, juga bisa dilakukan dengan mengajak anak bersama-sama mencari jawabannya. Entah lewat ensiklopedia, berkunjung ke perpustakaan atau surfing di dunia maya.

Kegiatan ini sekaligus menumbuhkan rasa ingin tahu, menciptakan kebiasaan yang baik dengan mencari jawaban sendiri, serta menjalin kedekatan antara orangtua dan anak.

Jangan jadikan tameng

Penting diingat, perilaku menunda jawaban sebaiknya tidak menjadi "tameng pelindung" bagi orang tua setiap kali anak bertanya. Karena malas menjawab, orang tua dengan entengnya berkata, "Jawabannya nanti saja yah" atau "Maaf, Mama tidak tahu jawabannya". Padahal orang tua tahu dan memiliki kesempatan untuk menjawab. 

Jika itu terjadi, bisa-bisa anak kehilangan kepercayaan karena orangtuanya tidak tahu apa-apa. Anak pun jadi malas bertanya lagi.

Semoga bermanfaat!


sumber :tabloid Nakita 




  

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Syukron telah membaca postingan kami, silahkan meninggalkan komentar ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...