Rabu, 26 Februari 2014

Otak Emosi, Reflek Penentu Keputusan

 Pembelajaran emosi menjadi amat penting, antara lain karena kekuatan dorongan emosi seseorang bisa lebih kuat daripada kekuatan logikanya. Itu karena, otak logika berpikir kalah cepat dengan otak emosi. Yang dimaksud dengan otak emosi, adalah bagian otak yang disebut amigdala, yaitu bagian yang berproses memberikan respon berupa tindakan emosional.

Manakala terjadi sebuah peristiwa, semisal ketika bapak guru matematika yang killer mengumumkan ujian di suatu pagi, seperti apa respo emosional yang ditampilkan anak? Terkejut, wajah pucat, tangan gemetar, darah seperti berhenti mengalir. Betapa kecewanya anak, karena semalam terlalu lama menonton film, sehingga belum sempat mengahapal rumus terakhir yang diajarkan pekan lalu. Kalau rumus saja belum hapal, bagaimana bisa mengerjakannya? Padahal ada 3 jenis rumus dengan beberapa simbol baru yang semestinya harus dihapal! Perasaan anak menjadi kecut. Teringat ancaman ayah untuk menghapus uang sakunya, bila sekali lagi ulangannya mendapat nilai di bawah lima.

Beberapa detik setelah diumumkan ujian dadakan, semua murid diminta meletakkan tas ke depan. Tentu saja untuk meghindari upaya penyontekan. Dan ketika teman-temannya sibuk berjalan mengumpulkan tas ke depan itulah, si anak dengan amat sigap menarik buku matematikanya dari dalam tas dan menyorongkannya masuk ke dalam laci mejanya!

Rupanya, amigdala, otak emosional anak telah bereaksi dengan begitu cepat, sebelum otak rasionalnya sempat berpikir. Nyontek! satu-satunya jalan keluar, pikir amigdala.

Beberapa menit berlalu, soal-soal matematika sudah berulang kali ia baca, tanpa bisa menemukan jalan keluar dengan baik. Matanya terus menerus memandang guru killer yang berdiri di depan kelas sambil matanya berputar mengitari kelas, mengawas satu demi satu gerakan anak muridnya. Tak ada kesempatan! Pikirnya kecewa dan iapun pasrah.

Ketegangan yang mengusik pikirannya sudah mulai reda. Keinginan untuk menyontek pun mulai goyah. Rupanya, kini otak rasioanalnya mulai bekerja. Apakah ada gunanya kalau nyontek? Akibatnya tentu sangat parah, jika ketahuan pak guru. Bukan saja dikeluarkan dari kelas, ditambah lagi tak boleh mengikuti pelajaran matematika selama sepekan! Apa kata ayah nanti?

Andaikan anak tidak mengalami tekanan dari siapapun, ayanhnya bisa bijaksana mnerima nilai-nilainya yang belum sesuai harapan, maka respon ‘lari’ tidak akan tertanam dalam benaknya. Sehingga amigdala  masih bisa mengambil altrernatif kedua, yaitu ’hadapi’.

Setelah beberapa saat lewat, barulah otak rasional bekerja dengan baik.Sifat otak ini, adalah berpikir dengan jernih dan cerdas, mempertimbangkan resiko dari berbagai segi dan memikirkan akibatnya jauh ke depan. Seperti ketika otak rasional anak mengambil keputusan, untuk tidak mengikuti dorongan emosinya. Setelah otak berpikirnya bekerja, anak memutuskan untuk berani menghadapi resiko, demi mempertahankan tujuan jangka panjangnya.

Dapatkah anda bayangkan, bagaimana jadinya jika otak rasionalnya terlambat mengambil keputusan? Atau keadaan aman untuk menyontek sehingga anak cepat memperturutkan emosinya untuk menyontek? Perilaku buruk ini adalah akibat dari pembelajaran yang diterima amigdala, jauh sebelum peristiwa tersebut terjadi.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Syukron telah membaca postingan kami, silahkan meninggalkan komentar ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...