Jumat, 13 Desember 2013

Mendengar Aktif

mendengar aktifMengendalikan lidah, adalah hal yang teramat sulit dilakukan, terutama dalam keadaan pikiran dikuasai oleh suasana emosional.
Padahal, perannya sangat poko dalam upaya mencari penyelesaian.

Apabila lidah telah bisa dikendalikan, maka seseorang akan bisa mengambil peran ‘mendengar aktif’. mengerti dan memahami perasaan dan pendapat lawan bicaranya.
Karena justru itulah yang dibutuhkan oleh mereka yang sedan berada dalam kondisi “siap bertarung”.

Walaupun keinginan seseorang untuk ‘ bertarung’ sudah memuncak hingga ke ubun-ubun, dan seluruh fisiologi telah mendukung dan siap untuk menggebrak, memukul maupun menendang, namun semua itu bisa teredam jika ia merasa didengarkan, dimengerti dan dipahami.

Kita bisa simak contoh permasalahan yang terjadi antara Randi dengan ayahnya :

Randi : “Sudah tiga kali pengambilan rapor, ayah dan ibu tidak ada yang sempat mengambilnya ke sekolah! Aku kan malu diumumkan ke depan kelas!”
Ayah : “Ah, begitu saja kok malu, seperti anak kecil saja.”a
Randi : “ Ayah ini bagaimana sih? Ya pasti malu dong yah, aku dikelompokkan dengan anak-anak yang sengaja tidak mau menyerahkan rapor ke ortunya karena nilai-nilanya buruk!”
Ayah : “Habis bagaimana lagi, setiap kali pengambilan rapor pasti bersamaan dengan acara ayah yang tidak bisa ditunda.”
Randi: “ Ah, ayah…! Ayah saja yang tidak menganggap anaknya penting untuk diurus.”
Ayah : “Semuanya penting bagi ayah. Tetapi pengambilan rapor kan bisa orang lain”.
Randi: “Pokoknya harus ayah atau ibu. Itu kan sudah peraturan sekolah.”
Ayah : “Tidak bisa begitu. Sekolah juga harus mau berunding dengan orang tua dong.”
Randi : “Ayah saja yang sok sibuk..Tidak perhatikan anaknya! Padahal aku dilarang belajar di kelas besok kalau raporku belum ayah ambil! Lebih baik aku tak usah sekolah! Bolos aja sekalian!

Suasana menjadi semakin panas, dan berakhir dengan keputus asaan. Tidak tercpai solusi akhir yang baik. Hal itu karena tak ada pihak yang mau ‘mendengar aktif’. Mari kita bandingkan seandainya proses ‘mendengar aktif’ dilakukan ayah terhadap Randi;

Randi : “Sudah tiga kali pengambilan rapor, ayah dan ibu tidak ada yang sempat datang mengambilnya sendiri ke sekolah! Aku kan malu diumumkan di depan kelas!”
Ayah : “Sudah tiga kali yah? Waduh kamu dapat masalah karenanya?
Randi : “Iya, kali ini Pak Dedi tidak mau menyerahkan raporku kalau bukan ayah atau ibi yang ambil”
Ayah : “ Kau tentu sangat ingin ayah bisa mengambilnya.”
Randi : “Kata Pak Dedi, kalau sampai besok belum diambil, aku tidak diijinkan belajar di kelas.”
Ayah : “Sebuah ancaman hukuman yang mengkhawatirkanmu pasti. Ayah akan coba susun ulang jadwal besok.”
Randi : “Atau ayah mau bicara langsung via telpon kapan ayah bisa datang?”
Ayah : “Itu penyelesaian yang baik. Biar ayah yang bicara langsung, sebab nampaknya kedatangan tamu ayah besok tidak mungkin ditunda.”
Randi : “Jadwal ibu juga tidak bisa ditunda?”
Ayah : “Nampaknya tidak bisa juga, karena ibumu harus mengisi seminar semenjak pagi.”
Suasana dialog yang terbentuk dalam kondisi kedua ini relatif lebih dingin, tidak emosional. Letak perbedaannya adalah pada kemampuan ayah untuk mendengar aktif keluhan dan masalah yang menimpa putranya.

Dalam dialog yang pertama, yang terjadi adalah antara Randi dan ayah Randi masing-masing bersikukuh untuk menyampaikan bahwa pendapatnyalah yang benar. Masing-masing enggan menerima pendapat lawan bicara. Hal ini tampak seperti pada komentar ayah yang pertama, “Ah, begitu saja kok malu”. Komentar ini  merupakan penyangkalan dan menyalahkan pendapat Randi akan perasaan malunya.

Disudutkan dan disalahkan secara langsung seperti ini membuta Randi merasa dirinya tidak dipahami, sehingga justru semakin memicu kemarahannya.

Jika diperhatikan, komentar yang dicapkan ayah secara logika ada benarnya. Seperti komentar yang kedua yang menyebutkan tentang penempatan waktu yang bersamaan dengan acara kantor yang tidak mungkin ditunda. dan komentar yang ketiga, “Semua penting bagi ayah” adalah sebuah komentar yang mmasuk akal, tetapi mengingkari pendapat Randi yang menuduh ayahnya tak mementingkan dirinya.

Komentar dan jawwaban ayah yang tidak mencerminkan pemahaman terhadap perasaan dan pendapat Randi tersebut semakin menyulut emosinya hingga sampai pada batas putus asanya, hingga ia tak mau lagi bersekolah karenanya.

Jauh berbeda ketika ayah bisa mendengar aktif, dengan cara memberikan komentar empati, yang menunjukkan bahwa ia memahami persaan anak. Sepert komentarnya pada dialog yang kedua ‘Waduh, kamu mendapat masalah karenanya?’ juga pada komentar berikutnya, ‘kau tentu sangat ingin ayah bisa mengambilnya’ dan juga ini, ‘Sebuah ancaman hukuman yang mengkhawatirkanmu pasti.

Dengan cara mendengar aktif, ayah mengulang dan menegaskan kembali perasaan apa yang ditampakkan oleh anak. Bisa disampaikan dengan kalimat yang sama dari pernyataan anak sebelumnya. Karena anak merasa perasaaannya dimengerti dan pendapatnya tidak disalahkan tetapi justru dihargai, maka emosinya akan mereda, dan iapun  bisa diajak kerja sama mencari solusi pemecahan masalah dengan pikiran dingin.

Dalam dialog kedua, bahkan Randi yang menawarkan solusi agar ayah berbicara langsung via telpon, guna menyampaikan negosiasi perubahan waktu pengambilan rapor
Nah, mengapa alternatif pemecahan masalah ini tidak muncul dalam dialog yang pertama? jawabannya adalah, otak yang panas, dikekang emosi, memang tak bisa diharapkan akan mampu mengasilkan pendapat yang brilyan pula.

Mendengar aktif :
1. Dengarkan pendapat lawan bicara
2. Pahami perasaannya
3. Sampaikan komentar empati
4. Bantu dengan pertanyaan terbuka

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Syukron telah membaca postingan kami, silahkan meninggalkan komentar ^_^

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...