“Janganlah kalian mencela para
sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di
genggaman-Nya, jika salah seorang di antara kalian menafkahkan emas
sebesar gunung Uhud, itu belum menandingi satu mud pencapaian mereka, bahkan
setengah mud pun belum.” (Muttafaq ‘alaihi)
Ungkapan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam ini menggambarkan betapa agung para sahabat
di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sehingga beliau
sungguh tidak rela apabila ada di antara mereka yang dicela. Tentu saja
sanjungan ini tidak berlebihan. Perhatikan firman Allah berikut :
“Orang-orang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap mereka dan
mereka pun ridha kepada Allah.” (At-Taubah : 100)
===
Kembali ke kisah Abu Hurairah...
Kesungguhan Abu Hurairah kepada
ilmu dan kehadirannya di majelis-majelis Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam membuatnya harus memikul kelaparan dan kesulitan hidup yang tak
dimiliki orang lain.
Abu Hurairah berkata tentang
dirinya sendiri :
Aku pernah didera kelaparan yang
sangat. Sampai-sampai aku terpaksa berpura-pura bertanya kepada seorang
laki-laki dari sahabat-sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
tentang satu ayat Al-Qur’an padahal aku sudah mengetahuinya, aku melakukan hal
itu dengan harapan dia akan berkenan membawaku ke rumahnya dan memberiku makan.
Suatu hari aku benar-benar sangat
lapar, sehingga aku mengganjal perutku dengan batu. Aku duduk di jalan yang biasa
dilalui para sahabat. Tidak lama kemudian Abu Bakar pun lewat, aku bertanya
kepadanya akan satu ayat dalam kitab Allah, aku bertanya kepadanya kecuali agar
dia membawaku ke rumahnya, namun dia tidak melakukannya.
Kemudian Umar bin Khattab lewat
di depanku, aku melakukan hal yang sama dengan yang kulakukan terhadap Abu
Bakar, dan Umar pun melakukan hal yang sama dengan Abu Bakar, sampai akhirnya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam lewat di depanku, beliau tahu
aku sedang lapar. Beliau bertanya, “Abu Hurairah”
Aku menjawab, “Ya, wahai
Rasulullah”
Lantas aku mengikuti masuk rumah
bersama beliau. Beliau melihat satu bejana berisi susu. Beliau bertanya kepada
keluarganya, “Dari manakalian mendapatkan susu ini?”
Mereka menjawab, “Fulanah mengirimkannya
untuk engkau.”
Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda kepadaku, “Abu Hurairah, pergilah kepada Ahli Suffah
dan panggillah mereka kemari” (ahli suffah adalah tamu-tamu Allah dari
kalangan kaum muslimin yang miskin, tidak mempunyai keluarga, tidak punya harta
dan tidak memiliki keluarga, tidak punya harta dan tidak mempunyai anak, mereka
tinggal di shuffah mesjid Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam)
Permintaan beliau kepadaku untuk
mengundang mereka tidak menenangkanku, aku berkata dalam diriku, “Apa yang bisa
dilakukan terhadap susu ini terhadap ahli Shuffah? Semestinya aku dulu yang
minum sehingga aku kuat lalu aku pergi kepada mereka”.
Aku datang kepada ahli Shuffah,
aku mengundang mereka dan merekapun datang, manakala mereka
duduk di hadapan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata kepadaku, “Ambillah
bejana itu dan berikalah kepada mereka”.
Aku pun memberi mereka minum satu
persatu hingga mereka semua kenyang, kemudian aku memberikan bejana susu
tersebut kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau memandangku
dengan tersenyum seraya bersabda, ” Tinggal aku dan kamu wahai Abu Hurairah”
Aku menjawab, “Benar Ya
Rasulullah”
Beliau bersabda, “Minumlah”.
Maka akupun minum.
Beliau bersabda, “Minumlah”.
Maka akupun minum.
Dan beliau terus bersabda, ”Minumlah”
Dan aku terus minum sampai aku
berkata, “Demi Allah yang telah mengutusmu dalam kebenaran, tidak ada ruang
dalam perutku untuknya”
Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam mengambil bejana dan meminum sisanya.
===
Tidak perlu waktu lama setelah
itu sehingga harta datang kepada kaum muslimin dengan melimpah. Harta-harta
rampasan perang mengalir ke mereka. Abu Hurairah pun memiliki harta, rumah dan
perlengkapannya. Dia juga memiliki istri dan anak.
Namun semua itu tidak merubah
penampilan pribadinya yang mulia sedikitpun. Tidak membuatnya melupakan
hari-harinya yang telah berlalu. Dia sering berkata, “Aku tumbuh sebagai anak
yatim, aku berhijrah dalam keadaan miskin, aku adalah kuli Busrah binti Ghazwan
dengan upah makanan yang mengenyangkan perutku, aku melayani orang-orang ketika
mereka singgah, menumpang kendaraan mereka ketika mereka bernagkat, lalu Allah
menikahkanku dengannya. Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan agama
sebagai pilar utama dan menjadikan Abu Hurairah sebagai imam”.
Abu Hurairah beberapa kali
menjadi gubernur Madinah atas perintah Mu’awiyah bin Abu Sufyan, namun jabatan
tersebut tidak merubah tabiatnya yang pemurah dan keramahannya sedikitpun.
Saat dia menjabat gubernur
Madinah, dia melewati salah satu jalan di sana, dia memanggul kayu bakar di
atas punggungnya untuk keluarganya, dia melewati Tsa’labah bin Malik, maka dia
berkata,
“Berikanlah jalan untuk gubernur wahai Ibnu Malik”
Tsa’labah menjawab,”Semoga Allah merahmatimu,
apakah jalan seluas ini tidak mencukupimu?”
Maka dia berkata, “Berikanlah
jalan untuk gubernur dan kayu bakar yang ada di punggungnya”.
Abu Hurairah menggabungkan
keluasan ilmu dan kemurahan hatinya dengan ketakwaan dan kebersihan hati, dia
berpuasa di siang hari dan bangun malam
untuk shalat di sepertiga malam yang pertama, kemudian ia membangunkan istrinya
lalu istrinya shalat malam di sepertiga malam yang kedua, kemudian istrinya
membangunkan anak perempuannya lalu dia shalat di sepertiga malam yang ketiga. Sehingga
rumah Abu Hurairah tidak terputus dari ibadah sepanjang malam.
Putrinya pernah mengadu
kepadanya, dia berkata, “Bapak, teman-temanku mengejekku, mereka berkata, ‘Mengapa
bapakmu tidak menghiasimu dengan emas?’” maka Abu Hurairah berkata, “Katakan kepada
mereka, ‘ Sesungguhnya bapakku takut panasnya api neraka atasku’”
Penolakan Abu Hurairah untuk
mempercantik putrinya dengan perhiasan bukan karena dia kikir atau rakus dalam
menumpuk harta, tetapi karena Abu Hurairah adalah laki-laki dermawan yang
banyak memberi di jalan Allah.
Marwan bin Al-Hakam mengirimkan seratus
dinar emas kepadanya, esoknya, dia mengutus seseorang kepada Abu Hurairah, dia
berkata, “Orangku salah telah menyerahkan dinar emas kepadamu, bukan kamu yang
aku inginkan, akan tetapi orang lain”
Abu Hurairah diam, lalu dia
menjawab, “Aku telah membelanjakannya di jalan Allah dan tidak tersisa satu
dinar pun di tanganku, jika jatah pemberianku dari negara sudah keluar maka
lunasilah ia dengannya.”
Marwan melakukan itu untuk
mengujinya, manakala dia meneliti, dia melihat kebenarannya.
===
Manakala Abu
Hurairah sakit, yang dalam sakitnya itu dia meninggal dunia, dia menangis. Orang
banyak bertanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Abu Hurairah?”
Dia menjawab, “Aku
tidak menangis atas dunia kalian ini, akan tetapi aku menangis karena
perjalananku jauh dan bekalku sedikit. Aku telah berada di ujung jalan yang
membawaku ke syurga atau ke neraka. Aku tidak tahu ke mana aku melangkah”
Marwan bin
AL-Hakam menjenguknya dan berkata, “Semoga Allah menyembuhkanmu wahai Abu
Hurairah”.
Maka Abu Hurairah
menjawab, “Ya Allah sesungguhnya aku mencintai perjumpaan denganMu maka
cintailah perjumpaan denganku dan segerakanlah”. Marwan baru saja hendak
meninggalkan rumah dan Abu Hurairah telah wafat.
Semoga Allah merahmati
Abu Hurairah dengan rahmat yang luas, dia telah menghafal untuk kaum muslimin
lebih dari 1609 hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah
membalasnya dengan kebaikan atas jasa mulianya bagi Islam dan kaum muslimin.
Sumber :
“Mereka Adalah Para Sahabat”,
Penulis Dr. Abdurrahman Rafat Ba’sya,
Penerbit At-Tibyan
Ketebalan : 420 halaman
Ukuran : 16,5 x 25 cm
wah, makasih postingannya mba, jadi tahu ttg abu hurairah, salam kenal ya :)
BalasHapusSama-sama mbak, seharusnya kita memang lebih mengenal para sahabat. Banyak hikmah setelah membaca kisah mereka.
HapusSalam kenal balik mbak
bukunya menginspirasi sekali... jd pgn baca juga...
BalasHapusBisa mbak, saya beli online juga, coba langsung pesan ke penerbitnya. Googling aja..
Hapus