Penulis : Irawati Istadi
Penerbit : Pustaka Inti
Cetakan: Pertama, Agustus 2010
Ketebalan : 212 + 12 halaman
Ukuran : 16 x 24 cm
Buku ini adalah buku
ketiga yang saya baca dari buku Irawati Istadi. Satu hal yang saya sukai dari
gaya kepenulisan ibu Irawati Istadi adalah tulisan yang mengalir, sarat akan ilmu,
hikmah dan nasihat namun tidak terkesan menggurui, ditambah lagi bahwa tulisan
yang ada dalam buku ini merupakan implementasi dari pengalaman pribadi penulis.
Seperti dituliskan pada pengantar penulis bahwa sifat emosional (pemarah)
merupakan sifat dasar dari penulis, namun penulis menyadari bahwa sifat pemarah
yang cenderung destruktif ternyata berdampak negatif untuk tumbuh kembang
putrinya yang menjadi tak terkendali dan cenderung mengikuti sifat pemarah dari
ibunya. Setelah itu dia bertekad untuk berubah dan melakukan terapi khusus
untuk menghilangkan kebiasaan marah. Dan hal itu tidak berjalan dalam waktu
singkat, penulis membutuhkan waktu 4 tahun untuk bisa terlepas dari lingkaran “kemarahan”
tersebut.
Buku ini tidak
menyuruh kita menahan marah secara total. Namun, buku ini mengingatkan kita
untuk memilih waktu dan cara yang tepat untuk marah. Bukan marah yang sekedar
marah. Karena ternyata sebuah kemarahan yang tidak dikendalikan akhirnya justru
akan membawa keburukan.
Marah tidak
selamanya salah, marah juga kadang-kadang diperlukan untuk menjadi solusi terhadap
suatu masalah yang selanjutnya di dalam buku ini disebut marah positif (hal.10)
Salah satu dampak negatif
dari amarah ini adalah ketaatan semu. Banyak orang tua menyangka bahwa marah
seakan-akan satu-satunya cara yang efektif untuk mendidik anak, karena dengan
menggunakan kemarahan, anak bisa dibuat patuh dan mengikuti perintah orang tua.
Orang tua merasa yakin telah menemukan kcara yang tepat untuk mengubah anak
menjadi lebih baik.
Padahal, hal ini
bisa memicu masalah baru yakni kepatuhan anak-anak itu adalah semu belaka. Anak-anak
berpura-pura patuh untuk menghindari efek kemarahan yang lebih besar lagi yang
harus ia terima. Maka kepura-puraan itu pasti ada batasnya. Suatu saat, ketika
anak sudah merasa kuat untuk membangkang, ketika ada kesempatan luang, atau
ketika orang tua sedang tidak memiliki waktu untuk marah, anak punya kesempatan
dan keinginan untuk melakukan pembangkangan. (hal.21)
Penulis juga ingin
meluruskan persepsi sebagian besar kita bahwa sifat marah bukanlah disebabkan
karena keturunan tapi pola asuhnyalah yang memberikan peran terpenting. Pengalaman
hidup anaklah yang mengajarkan kepadanya
bagaimana menyalurkan emosi (marah). Baik pola asuh yang terbentuk dari
didikan orang tua secara langsung maupun pengaruh lingkungan, tempat tinggal misalnya.
Maka saran dari penulis untuk serta merta memilih lingkungan yang baik bagi
perkembangan anak.
Potensi karakter
yang dimungkinkan menurun tersebut adalah seperti tingkat agresifitas
seseorang. Ayah yang agresif bisa menurunkan agresifitasnya kepada anaknya. Namun,
perlu diingat bahwa agresif belum tentu berkonotasi negative. Potensi agresif
bisa saja diarahkan pada hal-hal postif dan akan menghasilkan prestasi yang
luar biasa.(hal.35)
Lagi-lagi Golden
Age
Nampaknya memang
penulis menaruh perhatian khusus pada masa golden age. Penulis selalu menyediakan
ruang khusus untuk masa-masa Golden Age, yakni masa 5 tahun pertama pada
anak karena pada masa-masa itulah perkembangan otak anak 80% dari sempurna. Begitu
juga di buku-buku sebelumnya. Pembahasan mengenai golden age juga pernah
saya bahas di postingan ini.
Dalam buku ini,
penulis menjabarkan pemicu kemarahan di usia golden age, diantaranya
sifat egosentrisme serta meniru orang lain. Selanjutnya penulis melanjutkannya
dengan bagaimana mengawal proses pengendalian marah pada masa-masa tersebut. (51-57)
Setelah membahas
satu persatu mengenai pemicu kemarahan tersebut, penulis kemudian memberikan
solusi dalam mengendalikan kemarahan dengan memberikan penjelasan tentang bagaimana
cara marah yang efektif, serta bagaimana tuntunan marah dalam Islam. Semua dikupas
tuntas dalam hal 59-117.
Awalnya saya
menyangka bahwa penulis hanya memaparkan kemarahan yang hanya berhubungan
dengan kemarahan pada anak. Ternyata saya salah, karena dalam buku ini juga
dibahas bagaimana meredakan kemarahan suami istri yang salah satunya dengan
mengenal dengan baik-baik karakter pasangan kita masing-masing. Karena tidak
bisa dipungkiri kemarahan terhadap anak merupakan dampak dari kondisi hubungan
suami istri yang tidak harmonis.
Bukan hanya itu
saja, di buku ini juga membahas bagaimana memanajemen kemarahan, baik di tempat
kerja maupun di lingkungan sekolah.
Komplit bukan?
Tidak salah rasanya
penulis menambahkan judul pada buku ini dengan “Buku Komplit Manajemen Marah”,
karena penulis menjabarkan persoalan “marah” tidak hanya terfokus pada satu
sisi.
Contoh-contoh kasus
dalam tiap pembahasan yang sangat berhubungan dengan kehidupan kita
sehari-hari, semakin memudahkan kita dalam mangambil hikmah dan memahami tiap pembahasan.
Daftar isi |
====
Persoalan marah
memang penyakit kronik yang mendera sebagian besar kita dan itu semakin jelas
pada saat kita memiliki buah hati. Di situlah tingkat kesabaran kita diuji. Tidak
salah jika penulis menyediakan ruang yang dominan untuk membahas kemarahan
terhadap anak dibanding kemarahan terhadap pasangan ataupun antar rekan
sekerja.
Persoalan marah
memang berat, apalagi jika kita selaku orang tua “dulunya” tumbuh dengan
sentuhan kemarahan yang secara tidak sadar menjadi karakter dari sebagian kita.
Tidak salah, Allah menjanjikan ganjaran yang besar bagi seseorang yang mampu
mengendalikan amarahnya melalui lisan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam :
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ
“Janganlah engkau
marah niscaya bagimu syurga”
(hadist shahih, riwayat Ibnu Abid Dunya)
Yah, SYURGA
bunda-bunda sekalian… ganjarannya adalah SYURGA…
Selanjutnya, saya
sangat merekomendasikan bagi para orang tua untuk memiliki buku ini, karena segala
sesuatu itu butuh ilmu. Terutama kita sebagai orang tua, yang memiliki peran
untuk mempersiapkan anak-anak kita menjadi generasi penerus yang gemilang.
Minimal, generasi yang tidak gampang marah ^_^
Assalamu'alaikum
BalasHapusSalam kenal, Mbak :)
Pertama singgah kemari :)
Wa'alaykun salaam. Salam kenal balik mbak. Semoga betah :)
HapusSalam kenal ya Ummi
BalasHapusmembaca artikelnya bagus juga bisa memberikan renungan tersendiri, namun jika hanya membaca judulnya saja kok terkesan keras ya hal ini saya kaitkan dengan anak usia dini dimana pendidikan karakter harus terus ditumbuh kembangkan.
ok Ummi saya udah follow jika berkenan datang ke blog baru saya ya masih jadul hihihi
Iya ya mbak.. Saya ambil judul artikel dari judul bukunya, penulis kemungkinan sengaja memberi judul yang terkesan "antagonis" untuk menarik minat pembaca..
HapusInsya Allah dipikirkan kembali judul yang tepat. Atau ada saran?
Salam sahabat
BalasHapusloh komentar sistem approved jadi eror terus nich....oh ya maaf telat dan sudah saya follow kok
Nanti saya cek lagi ya mbak.. Makasih dah mampir
HapusWaah buku ini cocok nih buat aku, *ngaku suka marah2 apalagi tanggal tua :p
BalasHapusHehe.. Kalau begitu buku ini memang pas mbak Rahmi. Biar tanggal berapa aja tetap adem :D
Hapuskayaknya aku harus beli buku ini nih...hehe...biar lebih sabar :)
BalasHapusBukan cuman mbak aja hehe...
HapusIya mbak, silahkan dibeli. Recommended pokoknya..
Pengen beli bukunya mbak. Belinya dimana ya mbak?
BalasHapusSaya beli offline, kebetulan penulisnya mengadakan seminar di kota kami yang diadakan TKnya anak-anak ada juga dijual di sana...
HapusAtau bisa via googling aja mbak, siapa tahu dapat.
kayaknya musti baca nih buku.. secara suka marah + esmosi yang bikin anak2 jadi kena getahnya.. *ngaku* hiks :D. salam kenal umm :)
BalasHapusSama mbak.. Saya juga kadang kelepasan ngomel :D
HapusMakanya kita sebagai ibu kudu punya referensi agar bisa meredam emosi yang berlebihan. Dan buku ini very recommended